sambungan dari (1)....
OLEH Al Ustaz Abdurrahman
بسم الله الرØمن الرØيم
Hukumnya adalah fardlu kifayah. Bila seseorang telah menunaikannya maka yang lainnya tidak diwa-jibkan. Dalam sebuah peristiwa meninggalnya seseorang ketika wuquf di Arafah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Kalian mandikan orang ini dengan air yang dicampur daun bidara”. [Al Bukhari 1265 dan Muslim 1206].
Asy Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah itu hukum asalnya adalah wajib (fardlu-pen) dan telah dimaklumi bahwa perintah (disini) bukan dimaukan untuk setiap muslim (fardlu áin-pen) untuk memandikan mayit tersebut. Akan tetapi untuk keumuman kaum muslimin (fardlu kifayah-pen). Bila sebagian telah menunaikan perintah tersebut maka telah cukup”. [Asy Syarhul Mumti' 5/263].
Adapun yang dimaksud kewajiban memandikan jenazah adalah jenazah muslim. Jenazah orang kafir tidak diperbolehkan untuk dimandikan, dikafani, dishalati dan diantar oleh seorang muslim. Hanya menguburkan saja yang boleh dilakukan oleh seorang muslim, itupun dari kerabatnya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Tatkala Abu Thalib mati, maka aku menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan aku berkata: “Sesungguhnya paman engkau yang tua telah mati”. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata : “Pergi dan kuburlah dia. Kemudian jangan engkau berbuat apapun (selain itu-pen) sampai engkau menemuiku“. Kemudian aku menguburkannya, lalu menemui beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata : “Pergi dan mandilah dan jangan berbuat apapun (selain itu-pen) sampai engkau menemuiku.” Lalu aku mandi dan menemui beliau …”. [Ahmad dengan sanad shahih].
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Bahwasanya tidak disya-riatkan untuk seorang muslim untuk memandikan jenazah orang kafir, mengkafani dan menshalatinya sekalipun orang kafir itu adalah kerabatnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan Ali untuk melakukan itu semua. Kalau seandainya itu semua dibolehkan, niscaya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan menjelaskannya…” [Ash Shahihah tentang Hadits 161]. Di tempat yang sama beliau menyatakan :“Bahwasanya tidak disyariatkan bagi muslimin yang merupakan kerabat orang musyrik/ kafir untuk mengantarkan jenazahnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melakukan hal itu terhadap jenazah pamannya. Padahal beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik dan sayang kepada pamannya …”.
Yang Memandikan Jenazah
Yang memandikan jenazah pria adalah pria sedangkan jenazah wanita yang memandikannya adalah kalangan wanita. Tidak diperbolehkan jenazah pria dimandikan kalangan wanita walaupun mahramnya dan sebaliknya. Kecuali pasangan suami istri, maka masing-masing dari keduanya boleh memandikan pasangannya. [Lihat Tashilul Ilmaam 3/37 dan Taudhihul Ahkam 2/519-520]. Namun yang perlu diketahui oleh seseorang yang akan memandikan jenazah adalah:
Hendaknya ia tidak menceritakan aib atau cacat yang ada pada tubuh jenazah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Rafi’ bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, (artinya):
“Barangsiapa memandikan jenazah muslim kemudian menjaga rahasia dari aib jenazah tersebut maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak 40 kali”. [Al Hakim dengan sanad shahih).
Disunnahkan baginya untuk berwudlu' setelah memandikannya. Sebagaimana hal ini diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radhi-yallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Barangsiapa yang selesai memandikan mayit maka hendaklah mandi...”. [Abu Dawud 3161, At Tirmidzi 993, Ibnu Majah 1463 dengan sanad shahih].
Orang Mati Syahid Di Medan Perang Tidak Dimandikan
Hal ini didasarkan pada hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengumpulkan dua orang yang terbunuh di Perang Uhud dalam satu kafan… Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk memakamkan mereka dengan tetap ada darahnya, tanpa menshalati dan memandikan mereka. [Al Bukhari 1347]
Akan tetapi perlu dipastikan bahwa orang tersebut memang benar-benar meninggal dunia kerana terbunuh musuh di medan perang. Bukan karena meninggal akibat jatuh dari kenderaan perangnya, meninggal di peperangan tanpa tanda-tanda terbunuh oleh musuh dan sebagainya. [Asy Syarhul Mumti' 5/292]
Tata Cara Memandikan Jenazah
Secara umum hal tersebut dite-rangkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah Al Anshariyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata (artinya): “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menemui kami dalam keadan kami memandikan putri beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu beliau berkata: “Mandikanlah dia sebanyak 3 atau 5 guyuran atau lebih, dengan air yang bercampur daun bidara. Jadikan-lah akhir guyuran dengan air yang dicampur kapur barus. Bila kalian telah selesai maka beritahu aku”. Maka tatkala telah selesai, kami memberi-tahu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliaupun melempar kain penutup badan milik beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kami seraya berkata, “Pakaikanlah dia dengan kain ini”. [Al Bukhari 1253 dan Muslim 939].
Dalam riwayat lain [Al Bukhari 1254, 1263 dan Muslim 939]: “Mandikanlah dia sebanyak bilangan ganjil”.
Dalam riwayat lain [Al Bukhari 1254 dan Muslim 939]: “… 3, 5 atau 7 …”.
Dalam riwayat lain [Al Bukhari 1254 dan Muslim 939]: “Mulailah dengan anggota tubuh bagian kanan dan anggota wudhu’.
Dalam riwayat lain [Al Bukhari 1254 dan Muslim 939]: “…Kami menyisir rambut putri beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi 3 ikatan, yaitu pada kanan, kiri dan tengah”.
Adapun secara rinci, maka hal tersebut diterangkan oleh para ulama sbb:
Aurat mayat wajib ditutup terlebih dahulu dengan sebuah kain dengan cara menyelimutinya, sebelum membuka pakaian yang masih dikenakannya.
Pakaian yang masih dikenakan tadi kemudian dilepas dalam keadaan aurat sudah tertutup.
Proses memandikan mayat dilakukan di tempat tertutup, selain yang diberi tugas memandikan tidak diperkenankan menyaksikan proses tersebut.
Mayit diletakkan disuatu tempat yang landai/miring ke arah kaki. Tujuannya agar air dan kotoran dari badan mayit mudah mengalir ke bawah.
Kemudian badan si mayit agak diangkat hingga hampir menyerupai posisi duduk (agak didudukkan), kemudian perutnya dipijit pelan-pelan agar kotoran si mayit mudah keluar. Ketika itu guyuran air diperbanyak untuk menghilangkan kotoran yang keluar dari perut si mayit.
Orang yang memandikan mulai memakai kain seperti kaos tangan atau washlap yang agak kasar, kemudian membersihkan tempat keluarnya kotoran mayit sambil disiram air.
Setelah itu, baru kemudian orang yang memandikan mulai berniat untuk memandikan mayit dan membaca bismillah.
Mayat diwudhu’kan dengan wudhu’ yang sempurna seperti wudhu’ shalat. Hanya saja, madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq (memasukkan air ke mulut dan hidung) diganti dengan mengusap gigi-gigi dan lubang hidung mayit dengan kain basah. Jangan sampai air masuk ke hidung dan mulut.
Kemudian kepala mayit dan jenggotnya dicuci dengan busa air daun bidara atau sabun. Daun bidara tadi sebelumnya ditumbuk kemudian dimasukkan ke dalam bejana berisi air dan diaduk/dikocok hingga berbusa.
Lantas bagian kanan tubuh si mayat dimandikan mulai dari leher, tangan, pundak, dada, perut, paha, betis sampai telapak kaki kanan. Kemudian dibalik ke sisi kiri untuk memandikan punggung bagian kanan. Lalu dikembalikan seperti semula dan bagian kiri tubuh mulai dimandikan dengan tata cara yang sama seperti memandikan bagian kanan tadi.
Setelah itu, seluruh tubuh diguyur air daun bidara dengan bilangan ganjil hingga bersih. Pada guyuran terakhir dicampur kapur barus.
Kemudian tubuh mayit dikeringkan dengan kain, dipotong kumis, kuku dan rambut ketiaknya bila telah panjang. Adapun khitan maka para ulama mengharamkannya.
Kemudian rambut si mayit disisir dan pada rambut wanita (yang panjang) dijadikan 3 bagian dan diikat pada sisi kanan, kiri dan tengah (jambul).
Setelah tuntas maka tubuh mayit ditutup dengan kain bersih untuk kemudian dikafani.
Apabila ada halangan untuk memandikan jenazah seperti: tidak ada air, tubuh mayit tercabik-cabik, terbakar, dsb, maka para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan ditayammumi. Namun ada pula yang berpendapat tidak perlu ditayammumi. Wallahu a’lam. [Lihat Asy Syarhul Mumti' 5/272-279 dan 297, Syarh Shahih Al Bukhari tentang hadits 167, Al Mulakhash Al Fiqhi 1/238-240 dan Tashilul Ilmaam 3/25 & 29 dengan beberapa tambahan].
No comments:
Post a Comment